This is a my personal page, thank's for visit

Rabu, Desember 10, 2008

edith weddel

Lesbian dan Dosa :
Sabda Tuhan atau Konstruk Sosial?

Aku teringat saat seorang teman partner yang sebenarnya dianggap sebagai abang sendiri [berhubung label beliau butch dan kebetulan usianya diatas aku dan partner] – merespon perkataanku saat aku aku melihat seorang perempuan heteroseksual [aku bisa mengatakannya hetero karena aku tahu ia memiliki pasangan laki-laki] yang penampilannya bisa dibilang ke-butchiebutchie-an, kalau tidak bisa dibilang sebagai butchie banget. Aku spontan mengatakan, “Ada kemungkinan jadi lesbian nih bang,” dengan nada suara yang bercanda. Dia seketika merespon, “Hush!! Ga boleh begitu! Jangan nge-belok-in anak orang ah! Dosa itu!”. Aku seketika juga berjuang keras untuk mengendalikan tawaku yang sudah menyentak-nyentak dari dalam minta dikeluarkan. Dan berhasil. Aku hanya menanggapi jawaban teman partner dengan senyum simpul yang amat sederhana, berhubung agak susah kalau harus diskusi pankang lebar dengan beliau karena perspektif yang digunakan sudah berbeda dari awal. Beliau dengan sudut pandang agama, yang bagiku normative habis-habisan, sampai kadang membuat kesadaranku megap-megap sendiri karena pedalamanku yang tidak bisa berhenti untuk cekikikan mendengar lontaran-lontaran pendapatnya yang melulu mengatasnamakan moral dan Tuhan.

Aku sedang tidak mendiskreditkan kepercayaan apapun karena aku sadar bahwa tiap orang memiliki caranya sendiri untuk menafsirkan sebuah ide, yang dari dulu hingga sekarang tidak berhenti untuk diperdebatkan bahkan dikambinghitamkan : ide tentang Tuhan. Tapi aku harus mempertanyakan kembali ketika seseorang telah berpikir, atau setidaknya terbersit di kepalanya, bahwa menjadi lesbian berarti berasosiasi dengan dosa.

Pertama, karena menjadi lesbian adalah sebuah pilihan bebas dan sadar [jangan pernah sekali-sekali mengatakan bahwa kamu menjadi lesbian secara tiba-tiba, alias tanpa kamu sadari!] walaupun ada yang mengatakan bahwa menjadi lesbian adalah given karena ternyata ada penelitian secara genetis terhadap saudara kembar. Bahwa jika salah satu kembarannya adalah homoseksual, maka 70% dapat dipastikan bahwa kembaran yang lainnya juga adalah homoseksual.

Kedua, Tuhan – jika memang ada – telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna dibandingkan makhluk lain. Mulai dari kemampuan otak yang luar biasa sehingga banyak orang yang awalnya dianggap tidak ada apa-apanya telah menjadi ilmuwan atau komponis besar yang karya-karyanya diapresiasi masyarakat dunia.

Lantas jika Tuhan menganggap – berhubung aku bukan Tuhan dan tidak punya kemampuan untuk membaca pikiran Tuhan – bahwa lesbian adalah dosa, pertanyaanku kemudian, kepada manusia yang katanya ahli dalam persoalan agama, karena lagi-lagi aku belum pernah bisa berkomunikasi dan bertanya langsung pada Tuhan, adalah kenapa Tuhan tidak menciptakan satu identitas seksual saja? Kenapa Tuhan membiarkan keberagaman seksual terjadi di semesta dan isinya yang Dia ciptakan sendiri?

Aku sedang tidak berusaha mencari-cari kesalahan. Aku hanya sedang bertanya, sebuah upayaku untuk memenuhi rasa ingin tahu sebagai manusia. Satu hal yang aku pahami benar. Bahwa kita suci, yang adalah sabda Tuhan, tidak mampu berbicara pada manusia. Jadi, manusia sendirilah yang menafsirkannya. Bahkan ada yang sampai melegitimasinya dalam bentuk norma-norma, yang sering kita jumpai di sekitar kita; norma agama, sopan santun dan kesusilaan. Kesemuanya mengerucut dalam cap moral, dan ini berarti juga moral yang diinginkan Tuhan. Masalahnya adalah norma-norma tersebut tidak dapat diperbaharui alias rigid dalam rangka menjaga kemurnian ajaran Tuhan. Sedangkan ternyata realitas homoseksual, termasuk lesbian, luput dari norma-norma social yang telah ada padahal kisah homoseksual telah diceritakan dalam Serat Centhini di Jawa, termasuk tradisi warok dan gemblak yang memuat unsur homoseksualitas. Berarti ada yang belum diakomodasi dalam norma sosial selama ini, jika tidak mau diprasangkai bahwa ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan selama ini.

Belum lagi dikalangan lesbian sendiri yang masih membiasakan istilah “belok’ menjamur di mana-mana. Bagiku, setiap kata merepresentasikan makna dan efek psikologisnya masing-masing. Pertanyaan sederhanaku, “Memangnya kita belok dari apa?”. Istilah belok malah memberi kesan sebagai hal yang menyimpang dari apa yang sudah ditetapkan sebelumnya. Aku sendiri tidak berpikir bahwa kelesbiananku sebagai hal yang menyimpang. Menjadi lesbian bagiku berarti sebuah pilihan dengan siapa aku merasa nyaman dan berbagi kebahagiaan, sama seperti mereka yang heteroseksual yang memilih untuk mengecup bahagia dengan pasangan lawan jenisnya.

Aku hanya ingin mengatakan bahwa jangan pernah merasa bersalah ketika kita tertarik pada perempuan heteroseksual dan ternyata perempuan tersebut tertarik juga terhadap kita. Istilah yang sering dipakai oleh banyak lesbian – dan lagi-lagi aku benar-benar tidak mentolelirnya – yaitu ngebelokin. Seakan-akan para pengguna istilah ini mengaminkan bahwa lesbian adalah penyakit dan itu menular. Aku bukan seorang pesakitan hanya karena kelesbiananku! Dan aku tidak perlu vaksin agar aku bisa sembuh, karena aku sama sekali tidak sakit. Aku malah berpikir orang-orang yang selalu mengatasnamakan Tuhanlah yang perlu vaksin, sekedar untuk menyentik telinga mereka karena terlalu hanyut dalam akting mereka sebagai Tuhan sehingga sering lupa bahwa peran mereka sebenarnya adalah sebagai manusia – tidak lebih dan tidak kurang.

Aku hanya menginginkan sebuah ruang tanpa batas dimana yang tampak adalah memang yang sepatutnya tampak. Tanpa ada pretense untuk menutupi, terlebih memanipulasi. Dan aku tengah hidup – tumbuh dan berkembang – dalam ke-apaada-an tersebut. Menggelinding di semesta ketidakteraturan. Bertanya dan berkontradiksi. Sebagai lesbian. Sebagai perempuan. Sebagai manusia.

Aku akan selalu bangun dan terjaga dengan memandang langit yang seakan berisi, tapi juga seringkali terasa kosong dan kering. Tapi dari dua pemahamanku tentang langit, aku masih sering bertanya tentang kedalaman dan ketinggiannya dengan mata berbinar. Dan oleh karena itu aku belum letih-letihnya mencintai langit.

dan masih banyak pikiran cemerlang lainnya di sini

0 comment:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.