(Jimbaran Candle Light Dinner)
Menurut buku yang pernah aku baca, hidup ini mirip roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Kata guru yang pernah aku dengar, hidup ini ibarat bola. Terus bergulir. Entah sudah berapa ribu kali mata serta telingaku membaca dan mendengarkan sebaris keyakinan itu. Ketika untuk pertama kalinya tahu, aku manggut-manggut kemudian geleng-geleng, antara percaya dan setengah bertanya-tanya tapi untuk selanjutnya aku hanya manggut-manggut karena malas ribet. Mau mirip roda, kek atau disamakan dengan bola, nek. Yang terlintas dalam pikiranku saat itu hanya benda yang sama bentuknya yaitu BUNDAR alias BULAT alias LINGKARAN.
Malam ini entah awalnya kebentur benda apa atau kesambet setan pintar dari mana, mendadak otak yang lebih sering bebal daripada encernya ini kembali mempertanyakan dua keyakinan atau pandangan hidup yang hampir serupa tapi sebetulnya tidak sama itu.
Mengapa orang selalu memandang hidup ini identik dengan satu benda yang berbentuk lingkaran atau bundar atau bulat?
Roda dan bola merupakan benda yang berbentuk bundar yang kalau sudah menggelinding, tanpa ujung dan tanpa akhir. Sementara menurut isi kepalaku yang lagi kritis ini, hidupku sendiri seperti tangga atau perosotan. Untuk mencapai satu tujuan aku harus menaiki tangga itu satu persatu atau bahasa yang lebih tepatnya lagi setahap demi setahap dengan sangat hati-hati, karena apabila ambisiku sedang menutupi logika tak jarang aku langsung melompat dan berlari cepat sehingga tuh tangga sering ngambek dan mendadak berubah bentuk menjadi perosotan yang kayak di taman kanak-kanak, meluncur turun dan membuat aku terpuruk lagi di dasar tangga. (TAPE DEEEEH...)
HALAH! Kenapa jadi ngebahas roda, bola, tangga dan perosotan? Tiga malam kemarin niatnya aku lagi pengen ngelanjutin cerbung tapi gak tahu kenapa tiap mulai ngetik malah jadi lari nyeritain kunti, semar mendem dan kurcaci. Saking kebanyakan yang pingin di tulis kayaknya neh, malah jadi ngaco binti ngawur begini. (*Jaka Golok bawa Sembung, kalo dah goblok pasti kagak nyambung)
FOKUS-FOKUS!!!
JIMBARAN...
MAKAN MALAM...
REMANG-REMANG...
CANDLE LIGHT DINNER?
WUIIIIIHHH...
AJIP BANGET DAH!!!
Makan malam di Jimbaran selalu menjadi perjalanan yang sangat menarik buatku dan semua sahabat. Biarpun pada dasarnya aku bukan orang yang gemar jalan-jalan kuliner dan berburu makanan AJIP ke setiap tempat seperti yang menjadi kegemaran beberapa sahabat, tapi kalo ke Bali tanpa mampir ke Jimbaran? Gak seru banget lah, yaw!
Secara gitu loh, makan malam di pantai dengan menu beragam ikan segar yang masih hidup dan siap untuk di bantai dengan pemandangan samudera yang luas terbentang, di payungi lembayung senja yang perlahan tenggelam, diterangi bias cahaya rembulan dan bintang-bintang serta sedikit dibantu penerangan pelita malam, di iringi deburan ombak serta musik pantai yang dibawakan oleh para musisi lokal yang mampir dari meja satu ke meja lainnya dengan suguhan senyum ramah ketika pada akhir lagu kita merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar ribuan. (*Cieeee... bahasanya? Puisi bangeeeeet)
Sungguh! Makan malam di Jimbaran ini betul-betul merupakan momen yang sangat romantis dan hanya bisa aku temukan di pulau dewata ini. (*ini bagiku ya, masalahnya kantongku masih terlalu dangkal kalo mesti merogoh lebih dalam hanya demi selembar tiket liburan di Hawai atau di pulau-pulau indah lainnya. Belum cukup makmur, bow!).
"Pada mandi dulu gak, neh?" tanyaku gak biasanya ikutan ribet begitu acara check in yang kedua kalinya serta angkut-angkut bawaan masing-masing sudah selesai.
"Gak usah lah, nanti kemaleman. Kita kan cuma mau ngisi perut doang bukan mau tepe-tepe sama kunti sekseh." Jawaa...b siapa ya? lupa euy! Sinyo apa Jo sih yang jawab pertanyaan gak pentingku itu? (*Alzhemeir mode on)
Singkat cerita tanpa ada acara merawanin dulu bathtub plus showeryang sebetulnya sangat menggoda itu, kami bertujuh langsung berserabutan keluar untuk memanjakan kembali ternak-ternak di perut kami yang gak pernah ada rasa kenyangnya ini. (*beruntung aroma alami kita terawat semua ya, jadi pas empet-empetan lagi di mobil gak ada yang mendadak kayak orang lagi ngidam. Gak kebayang deh kalo waktu itu ada yang BB, kqkqkq...)
Tanpa ibu suri yang sebelumnya sudah diantarkan kembali oleh Cipcan yang pastinya diiringi tangisan bombaynya Sinyo ke pelukan sang empu malam, juga tanpa keikut sertaan pasangan kembar dempet Lobin dan madunya yang malam itu lebih memilih hantam-hantaman di kamar dengan alasan keduanya lagi terserang virus meriang. Kami berenam di bawa kabur menuju Jimbaran oleh sang Supri preman yang kalau bawa mobil ugal-ugalannya ngalahin supri metro mini yang lagi ngejar setoran.
"BELAKANG KAMMBIIIIIIIIINK!!!" Teriakku dan Jo setiap kali Sinyo sengaja menancap gas begitu menemukan jalanan yang agak sedikit bergelombang. Sementara Sinyo menanggapi teriakan aku dan Jo yang duduk paling belakang dengan hanya melirik melalui kaca spion depan, mencibir kadang menjulurkan lidah sambil tak pernah lupa memamerkan cengiran biawaknya. Badung banget gak, sih? (Kalau saat itu penumpangnya lagi pada bunting kagak perlu pake acara manggil dukun beranak ato bidan lagi, di jamin 1000% tuh orok bakalan brojol di mobil. Bebas hambatan banget pokoknya mah kalau biangnya jahil yang lagi bawa mobil)
Begitu tiba di pelataran parkir Jimbaran, alih-alih bisa memandang keindahan munculnya sunset yang gak pernah bosan selalu aku abadikan, saat itu kedatangan kami hanya disambut oleh sisa-sisa bias kuningnya saja serta cahaya lembayung yang tinggal beberapa menit lagi hampir meninggalkan senja.
Walau dalam hati agak sedikit kecewa tapi apa mau di kata, pengganti sunsetpun belum lagi tiba dan saat itu ia masih terjebak dalam acara ramah tamah pesta keluarga di pulau tetangga. So, begitu berhasil melepaskan diri dari mobil goyangnya Sinyo, kami langsung menyerbu sebuah kafe yang menurut guide andalan kami, Cipcan si ratu kuliner merupakan kafe yang paling nyaman dengan menu dan paket harga yang sangat spesial.
Bagaimana gak special? murah meriah banget, bow! Bayangin aja, makan malam berenam dengan aneka menu yang segala di pesan sampai membuat meja kami kelebihan muatan. Kalo di ibaratkan metro mini yang selalu bikin macet jalanan di ibukota, saking penuhnya tuh meja makan sampai miring ke kiri dengan kaki meja yang persis di depanku amblas di pasir pantai.
Aneh bin ajaibnya, biarpun sebelumnya kami semua sudah kekenyangan setelah mengganyang habis nasi campur kedewatan. Malam itu makanan yang ngampar di meja bisa ludes-des-des-des... bersih sebersih bersihnya, sampai waktu berdiri mau pulang kami semua hampir dibuat gak bisa jalan karena kekenyangan. (*Hahahaha... kemarin itu, maruk apa lapar kita, yak?!)
Dan yang tambah bikin kami terbengong-bengong lagi ketika pramusaji reseh yang sempet bikin kami gedek karena hobi ngupingnya yang gak tau etika itu menyodorkan bon yang nilainya gak sampe ngabisin tiga lembar uang seratus ribuan. Gila! rasa kenyang dan rasa puas kami yang tidak ternilai itu, hanya seharga tiga lembar seratus ribuan, itupun masih dikembalikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan lagi oleh kasirnya. (*Ada yang lebih murah meriah dari 'ROMANS CAFÉ' di Jimbaran? Kalo ada tolong kasih tahu kami, biar pada kesempatan berikutnya kami serbu tuh tempat makan AJIP rame-rame)
*Kagak tahu berapa sesi lagi bisa kelarnya neh cerbung...*
***
PS: Berhubung yang kami bahas di sela-sela makan malam di Jimbaran waktu itu tumben-tumbenan cukup serius yaitu seputar sharing pengalaman antara emak-emak dengan L single. Jadi mahap-mahap kata neh, aku juga mendadak lupa detail obrolan kami waktu itu apa saja. Kalo ada yang masih penasaran bisa menghubungi suhu kami di sini ==> Tempat semedinya MAHA GURU
Bahagia itu....
Hidup dengan harta berlimpah atau melarat setengah mati, sehat walafiat atau terbaring di rumah sakit, bisa makan di restoran mewah atau makan nasi-kerupuk, tinggal di rumah jutaan dolar atau di kontrakan sederhana yang bayarnya pakai ngutang, menikah atau tetap melajang di usia 'kepala tiga lari-lari'.
Menurutku, kebahagiaan tidak ditentukan oleh itu semua.
Well... mungkin pandanganku tentang arti kebahagiaan sedikit berbeda. Entah benar entah salah, namun bagiku kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar karena kebahagiaan timbul dari hati serta pikiran yang senantiasa bersyukur.
Bahwa kesempurnaan bukanlah esensi hidup yang sejati. Bahwa keindahan sebuah tujuan terletak pada proses yang diperlukan untuk mencapainya. Bahwa saling menghargai, menghormati dan menerima adalah substansi yang tidak terelakkan, sekaligus parameter kedewasaan yang sesungguhnya, karena ketika kita bisa membuka hati untuk melihat perbedaan tanpa menghakimi, pada saat itulah kita betul-betul telah mengerti arti kehidupan.
Aku bersyukur untuk setiap orang, setiap perkataan dan perlakuan, baik yang sengaja maupun yang tidak disengaja ditujukan kepadaku, selalu membimbing langkahku untuk terus belajar menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu, mendorongku untuk terus belajar mengenal kebenaran hakiki yang mungkin selama ini telah luput dari pemahamanku atau mungkin sama sekali tidak pernah aku ketahui...
Terima kasih banyak kepada semua sahabat yang selalu 'ada'
di kala senang maupun susah, di kala sehat maupun sakit,
di kala maya maupun nyata.
Sungguh, aku sayang kalian semua...
(Jupiter doc/dalam aura penuh syukur/25Nov08)
0 comment:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.